Text
Kultur, Multi Kultur, Postkultur
Sebagai 'idola' negara dunia ketiga, wacana postkolonial dipahami sebagai pemikiran yang memberi 'daya emansipasi' terhadap warga terjajah. Wacana ini digadang-gadang sebagai perkakas yang manjur untuk keluar dari dominasi diskursus kebudayaan yang dikonstruk oleh nalar kolonial. Dari sinilah lahir sederet tokoh seperti Edward Said dan Talal Asad, yang melakukan kritik tajam terhadap diskursus kebudayaan di bawah klaim-klaim objektivitas, universalitas dan sejenisnya, yang tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan-kecenderungan kekuasaan, sebagai bentuk dan bagian dari visi kolonialisme.
Pertanyaannya, apakah wacana postkolonial juga tidak bersifat kolonial? Bila dilihat dari muasalnya, wacana postkolonial lahir dan dihembuskan oleh para pemikir yang hidup dan besar di negeri-negeri imperialis. Dengan demikian, diskursus kebudayaan apapun, baik pluralisme, multikulturalisme maupun postkolonial, tidak bisa serta-merta diterima sebagai bentuk emansipasi terhadap warga negara terjajah. Bisa jadi, wacana yang nampak berpihak itu merupakan bentuk hegemoni baru. Buku ini mengkritisi konsep-konsep kebudayaan yang telah mapan melalui teks-teks etnografis dengan konteks ruang dan waktu tertentu, salah satunya tentang Indonesia.
Tidak tersedia versi lain