Tugas Akhir
Post-Dramatik Makyong Maskulinitas Perempuan dan Kekuasaan
Pada Alam Melayu, seorang Raja yang berkuasa harus memiliki keutamaan sifat mengayomi, simbolisasi sifat mengayomi di dalam lakon Makyong lebih terwakili dengan perempuan, sebetulnya perempuan didalam Makyong itu bukan dinilai secara fisik, itu hanya sebuah simbol yang melekat didalam jiwa seorang Raja Rahim ibu adalah rahim yang bertabiat melindungi dan memagari serta memelihara. Perempuan di melayu juga sangat ditakuti, karena ada sebuah keyakinan bahwa doa dan kutukan seorang wanita / ibu lebih mudah dikabulkan ketimbang laki-laki. Kesaktian semacam ini adalah bentuk metafora paradoks terhadap realita yang terjadi sekarang. Keputusan laki laki untuk pergi berburu dan berperang sementara perempuan tinggal dirumah bersama anak anak tentu saja memberikan akses yang lebih mudah bagi laki-laki mendapatkkan segala informasi pengetahuan, politik, sosial, kekuasaan dan kesempatan daripada perempuan. Hal tersebut terkonstruksi selama beratus-ratus tahun lamanya sehingga muncul kesenjangan, ketimpangan nilai antara lakilaki dan perempuan. Sebuah paradigma mengenai Raja / pemimpin seharusnya laki-laki, sementara perempuan yang kodratnya telah memiliki rahim dan payudara adalah akar dari segala subordinasi perempuan. Perempuan seolah tidak memiliki kesempatan dan kekuasaan yang sama seperti laki-laki dizaman perang. Penciptaan karya post dramatik Makyong berangkat dari situasi yang sederhana, yaitu tentang perempuan dan laki-laki yang sedang bertukar peran secara wajar dengan unsur alam dan reaksi penonton yang hadir secara alami untuk melengkapinya. Bahasa-bahasa visual yang singkat dan padat serta adanya unsur postdramatik adalah pilihan yang tepat dan minimalis untuk sebuah pertunjukan di era pandemi sekarang ini.
Tidak tersedia versi lain