Tugas Akhir
Pasemoning Joged Bedhaya Madiun Di Kraton Yogyakarta: Kajian Makna Simbolik
Tari bĕdhaya diketahui sudah ada dari ratusan tahun yang lalu semenjak Sultan Hamengku Buwono I (1755 – 1792). Setiap Sultan yang bertahta selalu memproduksi/menciptakan tari bĕdhaya yang baru yang menjadi representasi Sultan. Oleh karena Sultan selalu memproduksi bedhaya, maka tarian ini memiliki fungsi kultural sangat penting yang memiliki kedudukan sebagai atribut kekuasaan dari sang Raja. Bĕdhaya Bedhah Madiun yang menjadi objek penelitian ini mengisahkan tentang Panembahan Senopati yang bertujuan memperluas wilayah kekuasaan hingga ke wilayah Pulau Jawa bagian timur, termasuk daerah Madiun dan sekitarnya. Penelitian ini menelaah tentang sebuah genre tari yang terdapat di Kraton Yogyakarta yaitu Bĕdhaya Bedhah Madiun dengan menggunakan perspektif interaksionisme simbolik. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Etnokoreologi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumen. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif. Kredibilitas data dilakukan dengan triangulasi metode dan triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, dari simbol-simbol yang nampak secara fisik pada penyajian tari bĕdhaya yang dianggap sebagai pusaka merupakan simbol antara Tuhan dan manusia, sebagaimana tujuan manusia dalam mewujudkan cita-cita manunggaling kawula-Gusti. Kedua, Penggunaan keris dalam tari bĕdhaya juga memiliki istilah curiga manjing warangka, warangka manjing curiga yang berarti keris bersatu dalam sarung keris, sarung keris yang bersatu dengan keris. Keris dalam tari bĕdhaya memiliki arti sipat kandel yang melambangkan ketajaman pikir dan kelembutan hati. Sipat kandel ini merupakan pusaka andalan dimana seseorang (dalam hal ini adalah raja) yang memiliki sipat kandel kepemimpinannya akan langgeng dan lebih berwibawa. Ketiga, Bedhaya Bedhah Madiun yang bercerita tentang Panembahan Senapati memperistri Retna Dumilah untuk memperluas wilayah kekuasannya, yang dapat dimaknai mengalahkan musuh tanpa membunuh tapi melalui cinta. Politik perkawinan bukan merupakan hal yang baru di Jawa dengan meminjam idiom Jawa yaitu nglurug tanpa bala menang tanpa ngasorake yang berarti berjuang tanpa masa, menang tanpa ada yang mempermalukan lawan. Keempat, dari peristiwa pernikahan trah Mataram tersebut dapat dikatakan sebuah rekonsiliasi budaya yang direpresentasikan melalui Bedhaya Bedhah Madiun.
Tidak tersedia versi lain