Tugas Akhir
Pendendang perempuan Minangkabau mendobrak Doksa meneruskan tradisi : Studi kasus Pertunjukan Saluang Dendang pasca Pemberontakan PRRI
Penelitian ini mengkaji munculnya budaya pertunjukan Minangkabau pasca pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), khususnya pertunjukan saluang dendang. Pertunjukan saluang dendang adalah kesenian rakyat Minangkabau, yang awalnya hanya merupakan permainan kaum laki-laki. Permainan ini ditabukan untuk kaum perempuan karena adanya doksa dan kekerasan simbolik dalam masyarakat Minangkabau yang membatasinya. Namun pasca pemberontakan PRRI (1958-1961), praktik pertunjukan saluang dendang berkembang dengan cepat, dan menjadi salah satu kesenian yang populer di Minangkabau. Perkembangan ini dipengaruhi oleh munculnya sejumlah perempuan pendendang, sebagai pelaku (agen) dari praktik pertunjukan saluang dendang tersebut. Para perempuan pendendang ini “membongkar” atau melepaskan diri dari doksa dan kekerasan simbolik yang telah menyelimuti kaum perempuan Minangkabau pada masa sebelumnya.
Penelitian pertunjukan saluang dendang ini menggunakan kerangka teori arena produksi kultural Pierre Bourdieu, dengan mengoperasikan empat perangkat konseptual, yaitu arena, habitus, modal dan praktik. Analisis penelitian yang berdasarkan teori arena produksi kultural ini, menemukan bahwa pemberontakan PRRI, telah memunculkan kondisi habitual baru dalam arena kultural Minangkabau. Arena sebagai ruang pertarungan kekuasaan yang legitimit, dan perubahan posisi para agen pasca pemberontakan PRRI, mendorong sejumlah perempuan ikut bertarung mempertaruhkan modal kulturalnya untuk dipertukarkan di arena pertunjukan saluang dendang. Mereka kemudian berhasil mendominasi praktik pertunjukan saluang dendang pasca pemberontakan PRRI. Para pendendang perempuan ini berhasilkan membangun struktur pertunjukan saluang dendang dengan pesona yang baru, sehingga menjadi bahagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dan kebudayaan Minangkabau.
Tidak tersedia versi lain