Tugas Akhir
Dua Tradisi Pertunjukan Saman Gayo Lues Dalam Perspektif Sosiokultural
Disertasi ini untuk mengetahui dan menjelaskan makna terbesit bejamu Saman, akibat dari sikap generalisir dan derasnya penggunaan budaya global yang dimaknai secara sempit atau berorientasi pada serimonial belaka (duniawi). Pencapaian artistik Saman di atas panggung festival tampak mengesampingkan naluri bermain-mainnya orang untuk berkreatifitas. Konsep pembagian biner yang saling tarik-menarik ini, mencakup masa depan pertunjukan Saman dalam konteks etnisitas dan nasionalisme. Dampaknya pada pertukaran pertunjukan dan ide musikalnya, mengalami perubahan dan perkembangan produk-isi baru sehingga melahirkan teks, ko-teks, dan konteksnya lewat institusi kultur disekitarnya. Persoalan utama penelitian ini adalah Apa saja aspek performatif Saman? Bagaimana peran institusi kultur dalam pertunjukan Saman? Mengapa terdapat bejamu Saman versi kreasi baru (Saman Pertunjukan) dalam masyarakat Gayo Lues? Penyelidikan ini berada dalam ranah pertunjukan budaya dan dianalisis dengan mendialogkan konsep studi produk-isi, institusi kultur, dan efek (Raymond Williams), performativitas (Schechner), dan rasa-pemetaforaan (Ramachandran). Proses penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi pertunjukan, objek materinya bejamu Saman dan Saman Pertunjukan. Data peristiwa dan pendapat partisipan aktif, dianalisis, dikoding, dan disintetiskan guna mencari pemaknaan dan pendefenisian baru. Hasil penelitian. Pertama, kesenyawaan gerak tangan, kepala, badan, dan nyanyiannya, menghasilkan produk-isi seninya menjadi tiga bagian, yaitu: (1) pembuka: rengum, dering, dan salam; (2) isi-bertumbuh: ulu ni lagu, anak ni lagu, lagu-lagu, jangin, pantun muda-mudi; dan (3) penutup. Kedua, secara dramatis, laku permainan kelompok A berbentuk “kerucut tunggal”, berbeda dengan kelompok B berbentuk “kerucut berganda”. Penyajian keduanya menggunakan ungkapan ketidakberaturan, seronok, gayeng, dan improvisatoris, Ketiga, lelaki (filosofi bugis) dianggap lebih mudah mengekspresikan Saman, karena alat vitalnya dianggap kuat, bertenaga, rasional, jantan, dan perkasa. Bisa ‘menyerang’ (muneging) dengan tetap memberi kenyamanan pada lawan, dan sifatnya yang ‘bertahan’ (engging) ketika mendapat serangan. Ketika terjadi gesekan dapat menahan diri-tahu situasi. Tidak menonjolkan diri. Selalu tampil paling depan saat dibutuhkan dan mereka meyakini akan ada generasi penerusnya dikemudian hari. Temuan. Dasar perkaitan keduanya (klp A dan B), senantiasa berpusat pada saat-saat peristiwa pergelaran terjadi dan lebih bersifat serius (seriously play). Diadaptasi atas rasa aha-nya, yaitu antara mumangka-muneging atau menyerang dan menerim serangan, yang membawa permainan ke titik-titik persinggungan teka-teki permainan bejamu Saman dalam ruang kreatif-tradisi baru berserinen. Hal ini menyiratkan bahwa extra performativitas bejamu Saman bentuknya sebagai permainan tiruan serius, kontras dengan Saman Pertunjukan lebih berorientasi kepada aspek tersajinya materi di atas panggung. Akan tetapi menampakkan yang teratur, sopan, pasif, relatif formal, dan bentuknya mengarah menjadi baku
Tidak tersedia versi lain